Senin, 05 Desember 2011

MARY's LITTLE VOICE

<KRRIIIING!!>
 "selamat pagi Rob"
 samar aku mendengar suara kecil seorang gadis, dan perlahan aku pun mulai membuka kedua mataku,
 "ah, Mary selamat pagi"
"apakah tidurmu nyenyak?"senyumnya
"ya"
jawabku dengan nada lemah. Memang, seperti biasa aku dibangunkannya dari mimpi tidur ku, entah walaupun umurku sudah 15 tahun. 
<KRRIING!! KRRIING!!>
suara telephone memotong kata hati  kecil ini,
"Rob, Ash telpon"
"ya, aku Ke sana ",
dengan kepala yang sedikit pusing aku menghampirinya.
"Silahkan"
senyum canda Mary memberikan gagang telephone itu kepadaku.
" Ada apa?",
tanyaku kepada pria dalam telephone.
"<Aku akan menjemput kalian, ada hal penting yang harus kita bicarakan>",
riaknya dalam telephone.
"Baiklah kalau begitu", balasku.
Dia pun menyelesaikan pembicaraan dengan menutup telephonenya, kemudan Mary menyimakku yang sedang menutup telephone sambil membawa nampan yang ditumpanginya secangkir teh hangat,
 "kenapa, Rob?"
"tidak apa-apa, hanya saja hari ini kita tidak naik sepeda karena Komandan akan segera datang menjemput",
jelasku kepada Mary yang sedang mencicipi teh hangat buatannya.
"apa sarapannya sudah siap?"
lanjutku bertanya.
"belum, Mary sedang menggoreng telurnya", jelasnya.
"Kalau begitu aku mandi dulu saja"
"ya" senyumnya kepadaku.
kemudian aku  mulai mengambil handuk dan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku ini. selesai aku mandi dan mengenakan pakaian sekolah, aku terhenti sesaat terheran karena tidak mendengar sedikitpun senadungan dari suara kecil Mary. aku pun mulai menelusuri ruang makan dan melihatnya berdiri kaku di dekat meja makan, tiba-tiba dia mulai bergerak lari menuju dapur.
"kau baik-baik saja? Ada apa?", tanyaku terheran.
"Engh?"
dia pun membalas heran sambil mengisap sendok teh yang di genggamnya.
"Ah, iya Mary hampir lupa, sarapannya sudah siap"
dia meletakan secangkir teh ketiga di meja makan.
"?, teh ini untuk siapa?" tukasku.
"Engh?, eh iya lupa, kan punya Mary udah"
“tidak apa-apa, biar aku saja yang menghabiskannya”, belaku.
“terima kasih”,
Senyum ceria itu kembali terpancar di wajahnya. Senyum yang selalu ku lihat yang dapat membuat ‘es perasaan’ ini runtuh mencair, dan memberikan sebuah harapan kalau aku ingin terus bersama dengannya.
“Ayo sarapan!”
“iya”,
kumulai sarapan pagi kami dengan menyeruput secangkir teh hangat buatan Mary, tak lupa aku pun menghabiskan teh yang ketiga itu.
“Selesai!”,
serunya sambil mengankat kedua tangannya.
“Apa bekalnya sudah siap?”
“sudah”,
Mary menunjukan bekal itu kepadaku.
“Kalau begitu kita rapihkan semuanya!”
“baik”, sahutnya gembira
Aku masih bingung dan bertanya-tanya dengan tingkah lakunya tadi. Aku sempat khawatir. Tapi, mungkin ini hanya perasaanku saja. Ku gelengkan kepala mencoba untuk menghilangkan pikiran itu dari dalam diriku.
“Ayo berangkat!”
“iya”,
Jawab Mary sambil memasukkan tumitnya ke dalam sepatu.
Apartemen pun kututup rapat dan terkunci, kemudian aku memeriksa ke luar jalan untuk mengetahui apakah pria yang di telephone tadi ada di sana .
“Oi”,
suara teriakan dari seseorang.
“Rupanya mereka sudah menunggu di bawah, ayo lekas kita temui mereka!”,
ajakku kepada Mary, Mary pun mengangguk menjawabnya. Lalu kami berdua berlari menuruni tangga untuk menjumpai mereka.
“Pagi Mary, pagi Rob”,
sapa ald kepada kami berdua.
“pagi Ald”, balas Mary
“pagi kapten, komandan”, balasku.
Dengan senyuman Ash menyambut balas kami.
“Ayo”,
sambil membukakan pintu mobil, Ash mempersilahkan kami masuk ke dalam mobilnya. Lalu berangkatlah kami semua menuju sekolah.

       Diperjalanan, ku coba menanyakan hal penting yang kami bicarakan di telephone,
“ada apa komandan?”
“hah?”, balasnya tanya.
“Tentang di telephone tadi pagi”
“oh’ iya aku hampir lupa”,
dia tersenyum seperti orang yang tidak memiliki kesalahan sedikit pun, dengan melasnya ku hembuskan napasku.
“Jadi begini…”, lanjut Ash berkata.
Pembicaraan kami kemudian dimulai, pembicaraan yang tidak boleh didengar oleh orang lain itu berjalan dengan cepat. Mary pun hanya melihat pemandangan di luar kaca mobil seolah tidak mendengarkan pembicaraan kami walau hanya sedikit, sampai pada akhirnya kami tiba di sekolah.
“Begitulah rencananya”,
lanjut Ash sambil menutup pintu mobil.
“Nah,  sekarang ayo kita masuk kelas!”
“baik!”, jawab kami bertiga.
“Oh, iya jangan lupa nanti malam kita bertugas”
“aku mengerti”, tegasku.
“Ayo!”,
sela Ald sambil berlari menuju sekolah diikuti Mary dibelakangnya,
“ayo!”
Aku dan Ash hanya mengangguk dan tersenyum menjawabnya.
"Selamat pagi!",
sapa Mary dengan kencangnya kepada kelas.
"Wah hari ini kau kelihatan semangat sekali, ya?",
tukas seorang teman yang mendengar sahutan Mary, suara kecil Mary pun tertawa malu mengetahuinya. Tanpa mendengarkan, aku langsung masuk ke dalam melewati mereka. Bel pertanda kelas tiba menyuruh kami semua agar bergegas duduk di bangku kami masing-masing karena sebentar lagi waktu pelajaran di mulai. Tapi, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda, aku menyadari kalau biasanya suara kecil yang selalu ku dengar itu tiba-tiba sunyi hening tak terdengar. Aku pun menggerakan tubuhku menoleh kebelakan di mana Mary duduk di bangkunya saat ini.
“Ah!?”,
aku tersentak tanya, Aku melihat Mary menundukan kepalanya dengan kedua tangan saling berpelukan di atas meja, seakan sedang bersedih karena memikirkan sesuatu. Aku tidak berani bertanya karena pelajaran sudah dimulai. Perasaan khawatir ini menyelimuti ku lagi selama pelajaran berlangsung.
Leganya diriku mendengar suara bel istirahat berdentang di seluruh ruangan, langsung aku menghampiri Mary dan mencoba untuk menanyakannya,
"Mary apa kau baik-baik saja”, tanyaku.
“Engh?”, dia pun membalas tanya.
“Hari ini kau tudak seperti biasanya, kau sakit?”,
aku mengusap keningnya untuk memeriksa apakah dia benar-benar sakit atau tidak.
“Enggak kok, enggak panas, kan ?”,
tukasnya sambil melihat keningnya yang kupegang dengan tangan.
“Kau tidak apa-apa, ya?”
“iya, iya”, senyumnya.
aku pun tersenyum kembali membalasnya,
“ayo Rob kita makan!”,
Mary menarik tanganku, mengajakku makan siang bekal buatannya.
“Ayo”, jawabku.
kami pun pergi untuk menikmati makan siang kami.

       “Hai, sudah lama kami tunggu”
lambaian tangan Ash yang berdiri di salah satu meja ruang makan sekolah, mengarah padaku dan Mary.
“Kalian menunggu kami?”, tanyaku heran.
“Tidak, tidak, maksudku bekal makanan buatan Mary, aku sudah menunggunya”,
seringainya menunjuk kepada bekal yang dibawa Mary.
“bisakan, karena sekarang sudah tanggung bulan, lagi pula semalam aku menginap di kantor, jadi ibuku tidak sempat membuatkan bekal makanan untukku, bolehkan minta sedikit saja?”, jelasnya lebar.
“Silahkan saja, kapten juga, ya?”
“I, iya hahaha…maaf, ya?”.
tawa melas Ald sambil mengusap kepalanya.
“Tidak apa-apa, lagi pula Mary selalu membuatkan bekal lebih untukku”, jelasku saat akan duduk.
“Wah, terima kasih beruntung sekali aku hari ini bisa mencicipi bekal buatan mary”,
tukasnya sambil mengusap-usap kedua tangannya.
“Silahkan”,
Mary pun membagi bekal kami kepada Ash dan Ald.
“Selamat makan”,
sambut mereka bertiga memulai makan siang kami.
Ah, Mary bagaimana perasaanmu, apakah kau senang tinggal bersama dengan Rob di apartemen?”,
senyum ash lebar bertanya kepada Mary.
“Iya”,
jawab senyum kecil Mary.
“Benarkah?, kalau begitu, anggap saja apartemen itu sebagai rumahmu, ya?”,
“baik”,
angguk Mary menyetujui saran dari Ash.
“Wah, lezatnya, sandwich ini lezat sekali”,
tawanya memuji masakan Mary.
“terima kasih”
“Rob kau sungguh beruntung sekali, bisa menikmati masakan lezat buatan Mary”,
lanjutnya kepadaku.
“Tidak juga kok”,
jelasku sambil menyeruput susu kotak.
“Kenapa kau bilang begitu, seharusnya kau berterima kasih sudah dibuatkan bekal dan sarapan setiap hari”,
kerutnya mengkoreksi perkataanku.
“Begitu, ya”
“ya, tentu saja”,
tukasnya tersenyum lebar. Aku hanya tersenyum kecil mendengar perkataannya itu.
“Mmm, Mary masakanmu enak sekali, kau sungguh pintar”,
pujiannya kembali, Mary pun tersipu malu dan mendekapku.
“senangnya kalian andai ada yang melakukan  hal itu terhadapku”
“aah, Komandan kalau lagi makan tidak boleh bicara!”,
putus Ald.
“engh?, memangnya Kenapa?”, tanyanya sambung.
“Kenapa?, ya tidak boleh saja!”,
ketus Ald sambil menggaruk-garukan kepala.
“Tidak apa-apa,lah”
suka menyepelekan hal kecil begitu sih”, kesal Ald.
Pertengkaran kecil mereka tidak akan ada hentinya jika saja bel masuk kelas tidak berbunyi saat itu juga.

       waktu kami semua terus berlanjut hingga Bel akhir sekolah berbunyi dengan indah. Semua terlihat merasakan kegembiraan saat ingin pulang ke rumah masing-masing.
“Mary mau ketemu dengan teman-teman di perpustakaan dulu, ya Rob?!”
“ya, nanti aku menyusul”, jawabku.
“dah”,
sambil melambaikan tangan Mary pergi meninggalkanku.
“Aku harus bicara dengan Koiki”,
pikirku dengan meninggalkan kelas sambil berjalan menuju luar sekolah untuk bertemu dengan seseorang.
“huh, sepertinya dia sudah pulang. sial lain kali kau tak akan bisa lolos”, kesalku.
“Sebaiknya aku menjemput Mary”,
kemudian aku berjalan kembali menuju perpustakaan.
Tidak sengaja kudengar pembicaraan seseorang dari kejauhan menghampiriku.
“Mary hari ini aneh sekali,ya?, dia tidak menyapa kita padahal biasanya, kan …”,
pembicaraan tentang Mary yang membuat langkahku semakin kencang dan mulai berlari. Saat sampai aku hanya melihat teman kami,
“maaf, apakah kau melihat Mary?”, tanyaku
“Mary?, bukankah tadi dia sudah pulang?, memangnya kau tidak bertemu dengannya?”,
jelasnya kepadaku sambil kembali bertanya.
“pulang!?”, sentakku.
“Iya”, jawabnya.
“Maaf permisi”,
aku berlari meninggalkannya untuk mencari di mana Mary berada. aku mulai menyusuri beberapa tempat, tapi dia tidak kunjung terlihat olehku. sampai pada pemberhentianku yang terakhir di taman sekolah, tempat biasanya Mary menungguku pulang.
“ukh, tidak ada…di mana…?”,
sambil menoleh aku mencarinya, kemudian perasaan gelisah ini mulai bertambah, aku tidak tahu harus mencarinya kemana lagi. Hari ini dia tidak seperti biasanya, bukan saja hari ini, tadi pagi juga,. Ada apa sebenarnya?. pertanyaan itu terus menggema di dalam kepalaku.
Ku tarik napas sejenak untuk menenangkan pikiran, lanjut aku berlari dan berlari mencari dimana keberadaannya, ketika itu pun langkahku terhenti sejenak.
Aku melihat seseorang di dekat pagar pembatas lautan yang sedang berjongkok sambil memeluk kedua lututnya membelakangiku, aku pun mencoba untuk mendekatinya. Kaget aku melihatnya kalau ternyata itu adalah Mary. Aku sedikit terheran, sebenarnya apa yang dilakukannya di sana . Tapi, matahari yang mulai terbenam itu memberitahukan ku  jawabannya.
       Tanpa sedikit suara aku menyadarkannya kalau aku berada disisinya saat ini. Tiba-tiba saja dia melompat memelukku, memelukku dengan erat. Tersentak aku mendengar isakannya,
“Mary, Mary rindu ayah...Mary juga rindu ibu Mary…mereka dimana…? Rob, Mary tidak tahu”,
suara kecil Mary tersedu-sedu, aku langsung membalas pelukannya sambil membelai rambut hitamnya yang panjang.
“Maafkan aku Mary”,
entah karena alasan apa aku meminta maaf, yang jelas aku tidak bisa mengabulkan satu pun permohonannya saat ini. Tak tertahankan lagi air mata yang kukira tidak lagi akan keluar ini, menetes panjang kebawah pipiku. Sungguh aku tidak mengetahuinya, rupanya dia pun selalu menahan rasa sakit itu di dalam hati. Rasa sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh orang lain, dia tahan dengan senyuman dan tawa gembira. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menutupi kesedihannya. Dia sangat tegar selama ini, terus tersenyum dan tertawa lebar. Saat ini, suara kecil Mary yang selalu kudengar sedang menangis bersedih.

       Kami merasakan kesedihan ini begitu lama, sampai matahari pun sayu ditelan lautan memandangi kami.
“Ayo pulang!”,
pintaku yang masih memeluknya dengan erat. Tanpa patah kata Mary mengabulkan permintaanku.
       Keesokan hari datang dengan nyanyian hujan yang mengalun di sepanjang pagi. Aku kembali ke apartemen terburu mengambil payung yang lupa kami bawa. Mary menungguku di bawah, melihat derasnya hujan dengan tangan menadah tetesan-tetesan hujan.
“Ini, sepertinya hari ini kita juga tidak bisa naik sepeda?”,
jelasku sambil memayungkannya.
“Tidak apa-apa”, selanya.
“Ayo berangkat”
“emh”, Mary mengangguk dengan senyum.
Aku berharap dia sudah melupakan kejadian waktu itu, mungkin memang dia sudah melupakannya, karena aku melihat kembali senyum dan tawa kecilnya yang terus-menerus. Dilindungi oleh payung, menyambut tetesan hujan di pagi hari.
Sampai saat ini aku memang selalu membutuhkannya, bukan sekedar membangunkanku di pagi hari, atau menyiapkan bekal makan sekolahku. aku membutuhkan dia sebagai orang yang paling ku sayangi dalam segalanya, sebuah keluarga yang tidak pernah ku miliki sebelumnya. Berkat dia, aku memilikinya dengan begitu sempurna. bukan hanya diriku, begitu juga dengannya, kami berdua saling membutuhkan satu sama lainnya. Dia akan selalu berada di sisiku. dan diriku pun.., aku akan selalu berada di sisinya.





fin~