<KRRIIIING!!>
"selamat
pagi Rob"
samar
aku mendengar suara kecil seorang gadis, dan perlahan aku pun mulai membuka
kedua mataku,
"ah,
Mary selamat pagi"
"apakah
tidurmu nyenyak?"senyumnya
"ya"
jawabku
dengan nada lemah. Memang, seperti biasa aku dibangunkannya dari mimpi tidur ku, entah walaupun umurku sudah 15 tahun.
<KRRIING!!
KRRIING!!>
suara
telephone memotong kata hati kecil ini,
"Rob, Ash telpon"
"ya,
aku Ke sana
",
dengan
kepala yang sedikit pusing aku menghampirinya.
"Silahkan"
senyum canda Mary memberikan gagang telephone itu kepadaku.
"
Ada apa?",
tanyaku
kepada pria dalam telephone.
"<Aku
akan menjemput kalian, ada hal penting yang harus kita bicarakan>",
riaknya
dalam telephone.
"Baiklah
kalau begitu", balasku.
Dia
pun menyelesaikan pembicaraan dengan menutup telephonenya, kemudan Mary
menyimakku yang sedang menutup telephone sambil membawa nampan yang
ditumpanginya secangkir teh hangat,
"kenapa,
Rob?"
"tidak
apa-apa, hanya saja hari ini kita tidak naik sepeda karena Komandan akan segera
datang menjemput",
jelasku
kepada Mary yang sedang mencicipi teh hangat buatannya.
"apa
sarapannya sudah siap?"
lanjutku
bertanya.
"belum,
Mary sedang menggoreng telurnya", jelasnya.
"Kalau
begitu aku mandi dulu saja"
"ya"
senyumnya kepadaku.
kemudian
aku mulai mengambil handuk dan menuju kamar mandi untuk membersihkan
tubuhku ini. selesai aku mandi dan mengenakan pakaian sekolah, aku terhenti
sesaat terheran karena tidak mendengar sedikitpun senadungan dari suara kecil
Mary. aku pun mulai menelusuri ruang makan dan melihatnya berdiri kaku di dekat
meja makan, tiba-tiba dia mulai bergerak lari menuju dapur.
"kau
baik-baik saja? Ada
apa?", tanyaku terheran.
"Engh?"
dia
pun membalas heran sambil mengisap sendok teh yang di genggamnya.
"Ah,
iya Mary hampir lupa, sarapannya sudah siap"
dia
meletakan secangkir teh ketiga di meja makan.
"?,
teh ini untuk siapa?" tukasku.
"Engh?,
eh iya lupa, kan
punya Mary udah"
“tidak
apa-apa, biar aku saja yang menghabiskannya”, belaku.
“terima
kasih”,
Senyum
ceria itu kembali terpancar di wajahnya. Senyum yang selalu ku lihat yang dapat
membuat ‘es perasaan’ ini runtuh mencair, dan memberikan sebuah harapan kalau
aku ingin terus bersama dengannya.
“Ayo
sarapan!”
“iya”,
kumulai
sarapan pagi kami dengan menyeruput secangkir teh hangat buatan Mary, tak lupa
aku pun menghabiskan teh yang ketiga itu.
“Selesai!”,
serunya
sambil mengankat kedua tangannya.
“Apa
bekalnya sudah siap?”
“sudah”,
Mary
menunjukan bekal itu kepadaku.
“Kalau
begitu kita rapihkan semuanya!”
“baik”,
sahutnya gembira
Aku
masih bingung dan bertanya-tanya dengan tingkah lakunya tadi. Aku sempat
khawatir. Tapi, mungkin ini hanya perasaanku saja. Ku gelengkan kepala mencoba
untuk menghilangkan pikiran itu dari dalam diriku.
“Ayo
berangkat!”
“iya”,
Jawab
Mary sambil memasukkan tumitnya ke dalam sepatu.
Apartemen
pun kututup rapat dan terkunci, kemudian aku memeriksa ke luar jalan untuk
mengetahui apakah pria yang di telephone tadi ada di sana .
“Oi”,
suara
teriakan dari seseorang.
“Rupanya
mereka sudah menunggu di bawah, ayo lekas kita temui mereka!”,
ajakku
kepada Mary, Mary pun mengangguk menjawabnya. Lalu kami berdua berlari menuruni
tangga untuk menjumpai mereka.
“Pagi
Mary, pagi Rob”,
sapa
ald kepada kami berdua.
“pagi
Ald”, balas Mary
“pagi
kapten, komandan”, balasku.
Dengan
senyuman Ash menyambut balas kami.
“Ayo”,
sambil
membukakan pintu mobil, Ash mempersilahkan kami masuk ke dalam mobilnya. Lalu
berangkatlah kami semua menuju sekolah.
Diperjalanan, ku coba menanyakan hal penting yang kami bicarakan di telephone,
“ada
apa komandan?”
“hah?”,
balasnya tanya.
“Tentang
di telephone tadi pagi”
“oh’
iya aku hampir lupa”,
dia
tersenyum seperti orang yang tidak memiliki kesalahan sedikit pun, dengan
melasnya ku hembuskan napasku.
“Jadi
begini…”, lanjut Ash berkata.
Pembicaraan
kami kemudian dimulai, pembicaraan yang tidak boleh didengar oleh orang lain
itu berjalan dengan cepat. Mary pun hanya melihat pemandangan di luar kaca
mobil seolah tidak mendengarkan pembicaraan kami walau hanya sedikit, sampai
pada akhirnya kami tiba di sekolah.
“Begitulah
rencananya”,
lanjut
Ash sambil menutup pintu mobil.
“Nah,
sekarang ayo kita masuk kelas!”
“baik!”,
jawab kami bertiga.
“Oh,
iya jangan lupa nanti malam kita bertugas”
“aku
mengerti”, tegasku.
“Ayo!”,
sela
Ald sambil berlari menuju sekolah diikuti Mary dibelakangnya,
“ayo!”
Aku
dan Ash hanya mengangguk dan tersenyum menjawabnya.
"Selamat
pagi!",
sapa
Mary dengan kencangnya kepada kelas.
"Wah
hari ini kau kelihatan semangat sekali, ya?",
tukas
seorang teman yang mendengar sahutan Mary, suara kecil Mary pun tertawa malu
mengetahuinya. Tanpa mendengarkan, aku langsung masuk ke dalam melewati mereka.
Bel pertanda kelas tiba menyuruh kami semua agar bergegas duduk di bangku kami
masing-masing karena sebentar lagi waktu pelajaran di mulai. Tapi, entah kenapa
aku merasa ada sesuatu yang berbeda, aku menyadari kalau biasanya suara kecil
yang selalu ku dengar itu tiba-tiba sunyi hening tak terdengar. Aku pun
menggerakan tubuhku menoleh kebelakan di mana Mary duduk di bangkunya saat ini.
“Ah!?”,
aku
tersentak tanya, Aku melihat Mary menundukan kepalanya dengan kedua tangan
saling berpelukan di atas meja, seakan sedang bersedih karena memikirkan
sesuatu. Aku tidak berani bertanya karena pelajaran sudah dimulai. Perasaan
khawatir ini menyelimuti ku lagi selama pelajaran berlangsung.
Leganya diriku mendengar suara bel istirahat berdentang di seluruh ruangan, langsung aku menghampiri Mary dan mencoba untuk menanyakannya,
Leganya diriku mendengar suara bel istirahat berdentang di seluruh ruangan, langsung aku menghampiri Mary dan mencoba untuk menanyakannya,
"Mary
apa kau baik-baik saja”, tanyaku.
“Engh?”,
dia pun membalas tanya.
“Hari
ini kau tudak seperti biasanya, kau sakit?”,
aku
mengusap keningnya untuk memeriksa apakah dia benar-benar sakit atau tidak.
“Enggak
kok, enggak panas, kan
?”,
tukasnya
sambil melihat keningnya yang kupegang dengan tangan.
“Kau
tidak apa-apa, ya?”
“iya,
iya”, senyumnya.
aku
pun tersenyum kembali membalasnya,
“ayo
Rob kita makan!”,
Mary
menarik tanganku, mengajakku makan siang bekal buatannya.
“Ayo”,
jawabku.
kami
pun pergi untuk menikmati makan siang kami.
“Hai, sudah lama kami tunggu”
lambaian
tangan Ash yang berdiri di salah satu meja ruang makan sekolah, mengarah padaku
dan Mary.
“Kalian
menunggu kami?”, tanyaku heran.
“Tidak,
tidak, maksudku bekal makanan buatan Mary, aku sudah menunggunya”,
seringainya
menunjuk kepada bekal yang dibawa Mary.
“bisakan,
karena sekarang sudah tanggung bulan, lagi pula semalam aku menginap di kantor,
jadi ibuku tidak sempat membuatkan bekal makanan untukku, bolehkan minta
sedikit saja?”, jelasnya lebar.
“Silahkan
saja, kapten juga, ya?”
“I,
iya hahaha…maaf, ya?”.
tawa
melas Ald sambil mengusap kepalanya.
“Tidak
apa-apa, lagi pula Mary selalu membuatkan bekal lebih untukku”, jelasku saat
akan duduk.
“Wah,
terima kasih beruntung sekali aku hari ini bisa mencicipi bekal buatan mary”,
tukasnya
sambil mengusap-usap kedua tangannya.
“Silahkan”,
Mary
pun membagi bekal kami kepada Ash dan Ald.
“Selamat
makan”,
sambut
mereka bertiga memulai makan siang kami.
Ah,
Mary bagaimana perasaanmu, apakah kau senang tinggal bersama dengan Rob di
apartemen?”,
senyum
ash lebar bertanya kepada Mary.
“Iya”,
jawab
senyum kecil Mary.
“Benarkah?,
kalau begitu, anggap saja apartemen itu sebagai rumahmu, ya?”,
“baik”,
angguk
Mary menyetujui saran dari Ash.
“Wah,
lezatnya, sandwich ini lezat sekali”,
tawanya
memuji masakan Mary.
“terima
kasih”
“Rob
kau sungguh beruntung sekali, bisa menikmati masakan lezat buatan Mary”,
lanjutnya
kepadaku.
“Tidak
juga kok”,
jelasku
sambil menyeruput susu kotak.
“Kenapa
kau bilang begitu, seharusnya kau berterima kasih sudah dibuatkan bekal dan
sarapan setiap hari”,
kerutnya
mengkoreksi perkataanku.
“Begitu,
ya”
“ya,
tentu saja”,
tukasnya
tersenyum lebar. Aku hanya tersenyum kecil mendengar perkataannya itu.
“Mmm,
Mary masakanmu enak sekali, kau sungguh pintar”,
pujiannya
kembali, Mary pun tersipu malu dan mendekapku.
“senangnya
kalian andai ada yang melakukan hal itu terhadapku”
“aah, Komandan kalau lagi makan tidak boleh bicara!”,
putus
Ald.
“engh?,
memangnya Kenapa?”, tanyanya sambung.
“Kenapa?,
ya tidak boleh saja!”,
ketus
Ald sambil menggaruk-garukan kepala.
“Tidak
apa-apa,lah”
suka
menyepelekan hal kecil begitu sih”, kesal Ald.
Pertengkaran
kecil mereka tidak akan ada hentinya jika saja bel masuk kelas tidak berbunyi
saat itu juga.
waktu kami semua terus berlanjut hingga Bel akhir sekolah berbunyi dengan
indah. Semua terlihat merasakan kegembiraan saat ingin pulang ke rumah
masing-masing.
“Mary
mau ketemu dengan teman-teman di perpustakaan dulu, ya Rob?!”
“ya,
nanti aku menyusul”, jawabku.
“dah”,
sambil
melambaikan tangan Mary pergi meninggalkanku.
“Aku
harus bicara dengan Koiki”,
pikirku
dengan meninggalkan kelas sambil berjalan menuju luar sekolah untuk bertemu
dengan seseorang.
“huh,
sepertinya dia sudah pulang. sial lain kali kau tak akan bisa lolos”, kesalku.
“Sebaiknya
aku menjemput Mary”,
kemudian
aku berjalan kembali menuju perpustakaan.
Tidak
sengaja kudengar pembicaraan seseorang dari kejauhan menghampiriku.
“Mary
hari ini aneh sekali,ya?, dia tidak menyapa kita padahal biasanya, kan …”,
pembicaraan
tentang Mary yang membuat langkahku semakin kencang dan mulai berlari. Saat
sampai aku hanya melihat teman kami,
“maaf,
apakah kau melihat Mary?”, tanyaku
“Mary?,
bukankah tadi dia sudah pulang?, memangnya kau tidak bertemu dengannya?”,
jelasnya
kepadaku sambil kembali bertanya.
“pulang!?”,
sentakku.
“Iya”,
jawabnya.
“Maaf
permisi”,
aku
berlari meninggalkannya untuk mencari di mana Mary berada. aku mulai menyusuri
beberapa tempat, tapi dia tidak kunjung terlihat olehku. sampai pada
pemberhentianku yang terakhir di taman sekolah, tempat biasanya Mary menungguku
pulang.
“ukh,
tidak ada…di mana…?”,
sambil
menoleh aku mencarinya, kemudian perasaan gelisah ini mulai bertambah, aku
tidak tahu harus mencarinya kemana lagi. Hari ini dia tidak seperti biasanya,
bukan saja hari ini, tadi pagi juga,. Ada
apa sebenarnya?. pertanyaan itu terus menggema di dalam kepalaku.
Ku tarik napas sejenak untuk menenangkan pikiran,
lanjut aku berlari dan berlari mencari dimana keberadaannya, ketika itu pun
langkahku terhenti sejenak.
Aku
melihat seseorang di dekat pagar pembatas lautan yang sedang berjongkok sambil
memeluk kedua lututnya membelakangiku, aku pun mencoba untuk mendekatinya.
Kaget aku melihatnya kalau ternyata itu adalah Mary. Aku sedikit terheran,
sebenarnya apa yang dilakukannya di sana .
Tapi, matahari yang mulai terbenam itu memberitahukan ku jawabannya.
Tanpa sedikit suara aku menyadarkannya kalau aku berada disisinya saat ini.
Tiba-tiba saja dia melompat memelukku, memelukku dengan erat. Tersentak aku
mendengar isakannya,
“Mary,
Mary rindu ayah...Mary juga rindu ibu Mary…mereka dimana…? Rob, Mary tidak
tahu”,
suara
kecil Mary tersedu-sedu, aku langsung membalas pelukannya sambil membelai
rambut hitamnya yang panjang.
“Maafkan
aku Mary”,
entah
karena alasan apa aku meminta maaf, yang jelas aku tidak bisa mengabulkan satu
pun permohonannya saat ini. Tak tertahankan lagi air mata yang kukira tidak
lagi akan keluar ini, menetes panjang kebawah pipiku. Sungguh aku tidak
mengetahuinya, rupanya dia pun selalu menahan rasa sakit itu di dalam hati.
Rasa sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh orang lain, dia tahan dengan
senyuman dan tawa gembira. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menutupi
kesedihannya. Dia sangat tegar selama ini, terus tersenyum dan tertawa lebar.
Saat ini, suara kecil Mary yang selalu kudengar sedang menangis bersedih.
Kami merasakan kesedihan ini begitu lama, sampai matahari pun sayu ditelan
lautan memandangi kami.
“Ayo
pulang!”,
pintaku
yang masih memeluknya dengan erat. Tanpa patah kata Mary mengabulkan permintaanku.
Keesokan hari datang dengan nyanyian hujan yang mengalun di sepanjang pagi. Aku
kembali ke apartemen terburu mengambil payung yang lupa kami bawa. Mary
menungguku di bawah, melihat derasnya hujan dengan tangan menadah tetesan-tetesan
hujan.
“Ini,
sepertinya hari ini kita juga tidak bisa naik sepeda?”,
jelasku
sambil memayungkannya.
“Tidak
apa-apa”, selanya.
“Ayo
berangkat”
“emh”,
Mary mengangguk dengan senyum.
Aku
berharap dia sudah melupakan kejadian waktu itu, mungkin memang dia sudah
melupakannya, karena aku melihat kembali senyum dan tawa kecilnya yang
terus-menerus. Dilindungi oleh payung, menyambut tetesan hujan di pagi hari.
Sampai saat ini aku memang selalu membutuhkannya,
bukan sekedar membangunkanku di pagi hari, atau menyiapkan bekal makan
sekolahku. aku membutuhkan dia sebagai orang yang paling ku sayangi dalam
segalanya, sebuah keluarga yang tidak pernah ku miliki sebelumnya. Berkat dia,
aku memilikinya dengan begitu sempurna. bukan hanya diriku, begitu juga dengannya,
kami berdua saling membutuhkan satu sama lainnya. Dia akan selalu berada di
sisiku. dan diriku pun.., aku akan selalu berada di sisinya.
fin~